
SS/praN Ada-ada saja. Apa hubungan pernikahan dengan bulutangkis? Memang tidak ada. Tapi ada persamaan prinsip antara pernikahan dengan main bulutangkis ganda. Kalau kita main ganda artinya kita punya pasangan main. Di bawah ini adalah pelajaran yang kita bisa pakai untuk membangun rumah tangga kita.
1. Main itu ada aturannya. Mau main bulutangkis harus pakai aturannya, harus ada garis-garisnya dan ada netnya. Coba main bulu tanggis tanpa aturan, asal pukul, mau pakai raket boleh, kalau terpaksa pakai tangan langsung juga boleh. Bola kemana pun harus dikejar dan tidak ada "out"nya. Apa asyiknya? Apa kita harus main sampai salah satu tersungkur habis nafas?
Kalau mau asyik dalam pernikahan, pakai aturan. Sepakati dulu aturan Kitab Suci untuk hal-hal yang prinsip. Seperti kalau main bulutangkis pukulnya tidak boleh rebutan. Ini prinsip kan? Tetapi kita perlu juga membuat aturan dan berbagai kesepakatan yang lebih rinci. Misalnya, siapa yang akan mencatat keuangan keluarga, siapa yang bertanggung jawab untuk menyimpan surat atau dokumen yang penting. Masakan setiap kali kita harus mengambil koin untuk dipakai mengundi. Yang menang bebas dari tanggung jawab, yang kalah wajib bekerja. Kalau sudah ada aturannya, mainnya pasti lebih enak.
Aturan ini bisa saja direvisi sewaktu-waktu. Dirembuk lagi, disesuaikan dengan kondisi yang mungkin sudah berubah. Kalau anak lahir, maka tugas-tugas istri bisa dibagi dengan suami, kalau anak sekolah, siapa yang mengantar sekolah, dst. Lalu buat kesepakatan baru.
2. Lawannya ada di seberang net. Dalam rumah tangga, masalah bisa membuat suami istri bertengkar. Seolah-olah kita saling berhadapan dan dipisahkan oleh net. Padahal "lawan" seharusnya dihadapi bersama. Masak ada pemain bulu tangkis ganda yang saling melakukan smes pada kawannya sendiri karena jengkel? Tapi kalau kita jujur, kadang-kadang ada masalah kecil yang membuat kita bertengkar dengan pasangan kita padahal dia adalah mitra kita. Mana bisa menang dengan cara begini?
3. Penonton tidak boleh ikut main. Penonton selalu di luar garis. Jangan boleh masuk ke lapangan. Runyam. Kalau kita tidak hati-hati, bisa saja kita dipengaruhi oleh pendapat orang lain tentang penikahan dan rumah tangga kita. Padahal mereka hanya penonton. Yang namanya penonton, lebih banyak komentarnya. Belum tentu mereka bisa main dengan baik, tapi kritiknya mengalahkan kolumnis berita olah raga. Sudah jangan terlalu pedulikan omongan orang. Yang penting bagaimana kita berdua saja. Kan yang "njalani" kita, kenapa orang lain ikut-ikutan. Kalau orang tua dan mertua itu termasuk penonton atau tidak? Atau di keluarga saudara mereka ikut main? Wah lapangannya jadi sempit dong. Tanpa sengaja bisa saling menjegal.
Lain hanya kalau dia pelatih kita. Mungkin kita perlu orang lain untuk mengevaluasi permainan kita. (Kalau di keluarga orang tua dan mertua tidak pada posisi sebagai pelatih kita. Mereka mantan pelatih ketika kita main tunggal- sebelum menikah) Baru kita boleh terbuka pelatih (kalau ada) supaya mereka bisa obyektif menilai kita. Kalau penonton, biar nonton aja. Mau teriak boleh, mau komentar boleh, tapi tak perlu direspons atau didengarkan
4. Kenali kekuatan dan kelemahan pasangan kita.Kalau yang kuat di smes, mainnya di belakang. Kalau yang tangannya halus main net, berdirinya di depan. Suami dan istri juga pasti ada kekuatan dan kelemahannya, kalau semua itu di atur, bisa saling mengisi. Mainnya jangan dikuasai sendiri. Mau menang sendiri atau menang-menangan? Harus ada semangat menang bersama.
5. Selalu memberikan semangat. Kalau luput mengembalikan smes, jangan malah diejek, dicibir dan di"bodoh-bodoh"kan. Dia bukan musuhmu, tapi pasanganmu. Kalah-menangmu tergantung dari dia. Coba di semangati, dipuji, diberi kata-kata yang menghibur, dimaafkan, diberi senyuman, tambah semangat mainnya.
6. Temukan sendiri. Kan Anda sudah tahu maksudnya.
Selamat bermain. Coba berusaha. Semoga menang bersama.
1. Main itu ada aturannya. Mau main bulutangkis harus pakai aturannya, harus ada garis-garisnya dan ada netnya. Coba main bulu tanggis tanpa aturan, asal pukul, mau pakai raket boleh, kalau terpaksa pakai tangan langsung juga boleh. Bola kemana pun harus dikejar dan tidak ada "out"nya. Apa asyiknya? Apa kita harus main sampai salah satu tersungkur habis nafas?
Kalau mau asyik dalam pernikahan, pakai aturan. Sepakati dulu aturan Kitab Suci untuk hal-hal yang prinsip. Seperti kalau main bulutangkis pukulnya tidak boleh rebutan. Ini prinsip kan? Tetapi kita perlu juga membuat aturan dan berbagai kesepakatan yang lebih rinci. Misalnya, siapa yang akan mencatat keuangan keluarga, siapa yang bertanggung jawab untuk menyimpan surat atau dokumen yang penting. Masakan setiap kali kita harus mengambil koin untuk dipakai mengundi. Yang menang bebas dari tanggung jawab, yang kalah wajib bekerja. Kalau sudah ada aturannya, mainnya pasti lebih enak.
Aturan ini bisa saja direvisi sewaktu-waktu. Dirembuk lagi, disesuaikan dengan kondisi yang mungkin sudah berubah. Kalau anak lahir, maka tugas-tugas istri bisa dibagi dengan suami, kalau anak sekolah, siapa yang mengantar sekolah, dst. Lalu buat kesepakatan baru.
2. Lawannya ada di seberang net. Dalam rumah tangga, masalah bisa membuat suami istri bertengkar. Seolah-olah kita saling berhadapan dan dipisahkan oleh net. Padahal "lawan" seharusnya dihadapi bersama. Masak ada pemain bulu tangkis ganda yang saling melakukan smes pada kawannya sendiri karena jengkel? Tapi kalau kita jujur, kadang-kadang ada masalah kecil yang membuat kita bertengkar dengan pasangan kita padahal dia adalah mitra kita. Mana bisa menang dengan cara begini?
3. Penonton tidak boleh ikut main. Penonton selalu di luar garis. Jangan boleh masuk ke lapangan. Runyam. Kalau kita tidak hati-hati, bisa saja kita dipengaruhi oleh pendapat orang lain tentang penikahan dan rumah tangga kita. Padahal mereka hanya penonton. Yang namanya penonton, lebih banyak komentarnya. Belum tentu mereka bisa main dengan baik, tapi kritiknya mengalahkan kolumnis berita olah raga. Sudah jangan terlalu pedulikan omongan orang. Yang penting bagaimana kita berdua saja. Kan yang "njalani" kita, kenapa orang lain ikut-ikutan. Kalau orang tua dan mertua itu termasuk penonton atau tidak? Atau di keluarga saudara mereka ikut main? Wah lapangannya jadi sempit dong. Tanpa sengaja bisa saling menjegal.
Lain hanya kalau dia pelatih kita. Mungkin kita perlu orang lain untuk mengevaluasi permainan kita. (Kalau di keluarga orang tua dan mertua tidak pada posisi sebagai pelatih kita. Mereka mantan pelatih ketika kita main tunggal- sebelum menikah) Baru kita boleh terbuka pelatih (kalau ada) supaya mereka bisa obyektif menilai kita. Kalau penonton, biar nonton aja. Mau teriak boleh, mau komentar boleh, tapi tak perlu direspons atau didengarkan
4. Kenali kekuatan dan kelemahan pasangan kita.Kalau yang kuat di smes, mainnya di belakang. Kalau yang tangannya halus main net, berdirinya di depan. Suami dan istri juga pasti ada kekuatan dan kelemahannya, kalau semua itu di atur, bisa saling mengisi. Mainnya jangan dikuasai sendiri. Mau menang sendiri atau menang-menangan? Harus ada semangat menang bersama.
5. Selalu memberikan semangat. Kalau luput mengembalikan smes, jangan malah diejek, dicibir dan di"bodoh-bodoh"kan. Dia bukan musuhmu, tapi pasanganmu. Kalah-menangmu tergantung dari dia. Coba di semangati, dipuji, diberi kata-kata yang menghibur, dimaafkan, diberi senyuman, tambah semangat mainnya.
6. Temukan sendiri. Kan Anda sudah tahu maksudnya.
Selamat bermain. Coba berusaha. Semoga menang bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar